Jatuh Cinta Sendirian
Kamu hadir dalam kehidupanku, kita mulai saling menyapa, saling bertukar cerita karena kita memang awalnya pernah saling mengenal, mungkin lebih tepatnya pernah saling bertemu beberapa tahun sebelumnya, namun tak pernah dekat.Kali ini aku menyapamu lebih dahulu hehehe, memperkenalkan siapa aku, siapa namaku, begitu saja. Begitu percaya dirinya aku.. Awalnya, semua berjalan biasa saja, bahkan aku tak ingign menanggapinya aku anggap kamu, pertemuan ini hanay semata kebetulan, hanya sebatas pertemuan biasa, lama kelamaan semua berjalan sederhana. Kita bercanda, kita tertawa, dan kita membicarakan hal-hal manis; walaupun segala percakapan itu hanya tercipta sangat singkat. Perhatian yang mengalir darimu dan pembicara manis kala itu hanya kuanggap sebagai hal yang tak perlu dimaknai dengan luar biasa. Aku wanita, aku perempuan biasa, apalagi aku bertemu denganmu kali ini selepas dipatahkan hati oleh seorang pria.
Ternyata kehadiranmu membawa perasaan lain. Hal berbeda yang kamu tawarkan padaku turut membuka mata dan hatiku dengan lebar. Aku tak sadar, bahwa kamu datang memberi perasaan aneh, bukan tepatnya aku yang terlalu perasa saat itu, ada yang hilang saat aku memikirkan bahwa ini mungkin pertemuan pertama dengan kesan menarik serta pertemuan terakhir yang bahagia, tidak akan ada lagi kita. Jika saja aku bis amemilih aku ingin mengulur serta memperpanjang hari ini, tidak ingin usai rasanya hari ini, bersamamu. Saat berada dekatmu selalu saja ada saja topik menarik yang kita bicarakan, mulai dari pengetahuan yang kamu miliki sangata luas, sampai bicara soal hal kehidupan kita yang nampak sangat bertolak belakang, sampai pada akhirnya kita saling menceritakan kisah kita satu sama lain yang pernah kita jalani.
Ternyata kehadiranmu membawa perasaan lain. Hal berbeda yang kamu tawarkan padaku turut membuka mata dan hatiku dengan lebar. Aku tak sadar, bahwa kamu datang memberi perasaan aneh, bukan tepatnya aku yang terlalu perasa saat itu, ada yang hilang saat aku memikirkan bahwa ini mungkin pertemuan pertama dengan kesan menarik serta pertemuan terakhir yang bahagia, tidak akan ada lagi kita. Jika saja aku bis amemilih aku ingin mengulur serta memperpanjang hari ini, tidak ingin usai rasanya hari ini, bersamamu. Saat berada dekatmu selalu saja ada saja topik menarik yang kita bicarakan, mulai dari pengetahuan yang kamu miliki sangata luas, sampai bicara soal hal kehidupan kita yang nampak sangat bertolak belakang, sampai pada akhirnya kita saling menceritakan kisah kita satu sama lain yang pernah kita jalani.
Kamu bercerita tentang mantan kekasihmu dan aku bisa merasakan perasaan yang kaurasakan. Aku berusaha memahami sesakit apa perasaan yang pernah kamu rasakan sebelumnya. Sebenarnya, aku sudah memberi perhatian kepadamu, banyak sinyal-sinyal yang aku berikan, tanpa kauketahui. Mungkinkah perhatianku yang kuberikan tak benar-benar terasa olehmu? Aku mendengar ceritamu lagi. Hatiku bertanya-tanya, seorang pria hanya menceritakan perasaannya pada wanita yang dianggap dekat. Kamu menceritakan segalanya, keluargamu, hobimu, kebiasaan mu, kehidupan-kehidupan di kota ini.
Aku bergejolak dan menaruh harap. Apakah kausudah menganggap aku sebagai wanita spesial meskipun kita tak memiliki status dan kejelasan, bahkan ini pertama pertemuan kita. Senyumku mengembang dalam diam, segalanya tetap berjalan begitu saja, tanpa kusadari bahwa cinta mulai menyeretku ke arah yang mungkin saja tak kuinginkan. Sesekali aku kembali memikirkan bahwa inin akan menjadi momen pertemuan pertama dan terakhir kita, membayangkan serta memikirkan hal itu membuatku hatiku perih, kepalaku sakit. Kita sesekali saling menatap dan tersenyum penuh arti. Sungguh, aku masih tak percaya segalanya bisa berjalan secepat dan sekuat ini. Aku terus meyakinkan diriku sendiri, bahwa ini bukan cinta. Ini hanya ketertarikan sesaat karena aku merasakan sesuatu yang baru dalam hadirmu. Aku berusaha memercayai bahwa perhatianmu, candaanmu, dan caramu mengungkapkan pikiranmu adalah dasar nyata pertemanan kita. Ya, sebatas teman, aku tak berhak mengharapkan sesuatu yang lebih.
Aku tak pernah ingin mengingat kenangan sendirian. Aku juga tak ingin merasakan sakit sendirian. Tapi, nyatanya.... Perasaanku tumbuh semakin pesat, bahkan tak lagi terkendalikan. Siapakah yang bisa mengendalikan perasaan? Siapakah yang bisa menebak perasaan cinta bisa jatuh pada orang yang tepat ataupun salah? Aku tidak sepandai dan secerdas itu. Aku hanya manusia biasa yang merasakan kenyamanan dalam hadirmu. Aku hanya wanita yang takut kehilangan seseorang yang tak pernah aku miliki.
Salahku memang jika mengartikan tindakanmu sebagai cinta. Tapi, aku juga tak salah bukan jika berharap bahwa kamu juga punya perasaan yang sama? Kamu sudah jadi sebab tawa dan senyumku, aku percaya kautak mungkin membuatku sedih dan kamu tak akan jadi sebab air mataku. Aku percaya kamulah kebahagiaan baru yang akan memberiku sinar paling terang. Aku sangat memercayaimu, sangat! Dan, itulah kebodohan yang harus kusesali.
Ternyata, ketakutanku terjawab sudah, kita berjauhan, aku harus kembali menjali kehidupanku, yang pastinya itu jauh darimu, jauh dari kota ini. Aku menyadari aku tak pernah jadi siapa-siapa bagimu, mungkin aku hanya persinggahan; bukan tujuan. Kalau kauingin tahu, aku sudah merancang berbagai mimpi indah yang ingin kuwujudkan bersamamu. Mungkin, suatu saat nanti, jika Tuhan izinkan, aku percaya kita pasti bisa saling membahagiakan.
Aku tak punya hak apapun atasmu, memintamu hadir selalu, juga tak punya wewenang untuk memintamu meluangkan waktu untukku. Masih adakah yang perlu kupaksakan jika bagimu aku tak pernah jadi tujuan? Tidak munafik, aku merasa kehilangan. Pertemuan seharian itu telah membuatku merasakan kenyamanan, membuatku percaya bahwa segala perasaan bisa hadir kapan saja mengenal situasi, candaan dan perhatian kecilmu membuatku merasakan indahnya memiliki perasaan cinta, namun segalanya tiba-tiba hilang, bagai asap rokok yang hilang ditelan gelapnya malam. Sesungguhnya, ini salahku, yang bertahan dalam diam meskipun aku punya perasaan yang lebih dalam dan kuat. Ini bukan salahmu.
Aku harus belajar tak peduli. Aku harus belajar memaafkan, juga merelakan.
Komentar
Posting Komentar